PENDIDIKAN ANAK
Makalah
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Hadits
Dosen
Pengampu: H. Fathur Rozi,
M.Ag
Disusun
Oleh:
1. Lukman Hakim (133911035)
2. Sabiqotul Ismah (133911036)
3. Ulfa Nurul Wakhidah (133911037)
4. Iin Nabila (133911038)
5. Intan Khumairoh (133911039)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan suatu proses untuk mendewasakan manusia. Melalui pendidikan manusia
dapat tumbuh dan berkembang dengan
sempurna, sehingga dapat melaksnakan tugas dan kewajibannya sebagai manusia.
Pendidikan mampu merubah manusia yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang
tidak baik menjadi lebih baik, begitu pentingnya pendidikan dalam Islam sehingga
merupakan suatu kewajiban perorangan untuk menuntut ilmu. Rasulullah bersabda:
عن حسين بن علي قال
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Husain bin Ali meriwayatkan bahwa Rasulluwah SAW
bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagisetiap orang
Islam.” (HR. AL-Baihaqi, Ath-Thabrani, Abu
Ya’ala, Al-Qudha’I,dan Abu Nu’aim Al- Ashbahani)[1]
Pentingnya
pendidikan anak usia dini, menuntut pendekatan yang akan digunakan dalam
kegiatan pembelajaran yang memusatkan perhatian pada anak. Sebab anak merupakan
dambaan bagi setiap orang tua dan generasi penerus bangsa, akan tetapi salah
satu masalah yang muncul adalah tidak setiap orang tua atau pendidik mampu
memahami cara yang tepat untuk mendidik anak tersebut.
Dengan
demikian, dalam makalah ini kami akan membahas tentang mendidik anak agar dapat
menciptakan generasi penerus yang mampu menjadi penerus bangsa yang berkualitas
dimasa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah diantaranya
adalah:
1. Apakah pengertian pendidikan
anak?
2.
Apa saja aspek-aspek pendidikan itu?
3.
Apakah kewajiban orang
tua terhadap anaknya?
4.
Apakah Pendidikan wajib dari orang tua
terhadap anak?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Anak
Secara umum
anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa khususnya orang tua.
Pendidikan dapat diartikan perbuatan
atau usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada
generasi muda, sebagai usaha untuk mempersiapkan mereka agar dapat memenuhi
fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah.[2] Dengan adanya pendidikan mampu merubah seseorang yang awalnya tidak tahu menjadi
tahu, yang tidak paham
menjadi lebih paham, karena
itu pendidikan sangatlah penting untuk mengarahkan kehidupan manusia menjadi
lebih baik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, bahwa kata Pendidikan
berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara dan memberi latihan
(ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan
arti dari Pendidikan adalah Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, dan
perbuatan mendidik.[3]
Menurut al-Ghazali, anak adalah amanah Allah dan
harus dijaga dan dididik untuk mencapai keutamaan dalam hidup dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Kedua orang tualah yang akan mengukir dan akan
membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan disenangi semua orang.[4] Keluarga
khususnya orang tua adalah orang yang paling berpeluang mempengaruhi
perkembangan anak. Hal ini karena keluarga adalah lingkungan pertama yang
dikenal oleh anak.
Jadi,
pendidikan anak adalah usaha yang sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan
membantu anak dengan tujuan peningkatan keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga
secara bertahap dapat mengantarkan anak kepada tujuannya yang paling tinggi agar
anak dapat hidup bahagia, serta seluruh apa yang dilakukanya menjadi bermanfaat
bagi dirinya dan masyarakat.
B. Aspek-aspek Pendidikan
Berdasarkan
hakikat manusia, maka kita dapati berbagai segi atau aspek pendidikan. Diantara
aspek-aspek pendidikan yang sangat penting ialah:
a. Pendidikan
akhlak atau budi pekerti.
Budi pekerti atau akhlak adalah aspek yang sangat
fundamental dalam kehidupan, baik kehidupan
sebagai individu maupun kehidupan bermasyarakat dan bangsa.
Tujuan dari pendidikan budi pekerti adalah mendidik anak agar dapat membedakan antara baik dan buruk, sopan dan tidak sopan, terpuji dan tercela.
b. Pendidikan
kecerdasan
Pendidikan kecerdasan merupakan tugas pokok dari sekolah.
Tujuan dari pendidikan kecerdasan adalah mendidik anak agar dapat berfikir secara kritis, logis, kreatif dan reflektif.
v Berfikir
secara kritis berarti dengan cepat anak melihat hal-hal yang benar dan hal-hal
yang tidak benar.
v Berfikir
secara logis berarti dengan cepat dapat melihat hubungan masalah yang satu dengan
yang lain, menghubung-hubungkan dari beberapa masalah, membandingkan, kemudian menarik
kesimpulan.
v Berfikir
secara kreatif dari apa yang telah di selidiki, melakukan percobaan, serta pengamatan
yang dilakukan dapat menemukan sesuatu yang dianggap baru.
v Berfikir
secara reflektif berarti anak dapat memecahkan berbagai persoalan dengan tepat.
c. Pendidikan
sosial atau kemasyarakatan.
Pendidikan ini berhubungan dengan pergaulan anak didik dan proses adaptasi lingkungan. Pendidikan sosial bertujuan untuk mendidik anak agar dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan bermasyarakat
dan dapat berpartisipasi secara aktif didalamnya.
d. Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan tentang pentingnya nilai-nilai hak dan kewajiban suatu
negara agar setiap hal yang di kerjakan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa
dan tidak melenceng dari apa yang di harapkan.[5]
Selain keempat aspek di atas, dalam sebuah hadis dari Abi
Rafi’ disebutkan bahwa aspek-aspek pendidikan yang harus diajarkan orang tua
terhadap anak adalah menulis, berenang, memanah, mewariskan, dan mecari rizki
yang halal.
عن أبي رافع قال قلت يا رسول الله
أللولد علينا حق كحقنا عليهم قال نعم حق الولد على الوالد أن يعلمه الكتابة
والسباحة والرمي(الرماية) وأن يورثه(وأن لا يرزقه إلا) طيبا (هذا حديث ضعيف،من
شيوخ بقية منكر الحديث ضعفه يحيى بن معين والبخاري وغيرهما باب ارتباط الخيل عدة
في سبيل الله عز وجل)[6]
“Diceritakan
dari Abi Rafi’ dia berkata : aku berkata wahai Rasullah apakah ada kewajiban
kita terhadap anak, seperti kewajiban mereka terhadap kita? Beliau menjawab:
ya, kewajiban orang tua terhadap anak yaitu mengajarkan menulis, berenang,
memanah, mewariskan dan tidak memberikan rizki kecuali yang baik.” (Hadits ini dhoif, dari beberapa syeikh yang
diingkari haditsnya. Di dhoifkan oleh Yahya bin Mu’in, al-Bukhari dan lainya.
Bab mengikat kuda untuk berperang dijalan Allah azza wajalla).
a. Pendidikan
menulis
Sebagai suatu pendidikan yang diprioritaskan untuk
diberikan kepada anak bertujuan untuk menghilangkan kebodohan, membaca, menulis
dan mencari wawasan seluas-luasnya agar menjadi anak yang lebih pandai dan
cerdas.
b. Pendidikan
berenang
Inti dari berenang adalah untuk mempertahankan hidup,
kecakapan untuk melindungi diri, dimana mental dilatih untuk tidak tenggelam,
tidak mudah menyerah, dan harus tetap berenang hingga ketepian. Sama saja
dengan hidup ini, seseorang harus tegar, tidak mudah tenggelam dan mempunyai
visi dan misi hidup.
c. Pendidikan
memanah
Pendidikan ini bertujuan agar
anak menjadi orang yang teguh dan cinta kepada tanah air, selain itu juga untuk
menjaga diri dari musuh dan melatih untuk membidik tepat sasaran, dengan kata
lain menetukan keputusan dengan tepat
d.
Pendidikan ekonomi (Mencari rizki yang halal)
Pendidikan ini bertujuan agar terhindar
dari makanan yang haram, dengan makanan yang baik dan halal seseorang akan
terarah pada kebaikan, begitu pula sebaliknya, makanan yang haram akan membawa
kepada kebatilan.
C. Kewajiban Orangtua terhadap
Anak
Setiap anak dilahirkan dengan membawa fitrah (perasaan
dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan
melakukan ajaran Allah. Fitrah kesadaran beragama ini merupakann disposisi yang
mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang. Namun, arah atau kualitas
perkembangan beragama anak sangat bergantung pada proses pendidikan yang
diterimanya. Disinilah peran orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan
anaknya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah:
عَنْ
هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ
الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ
يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه (فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ (أخرجه البخاري في كتاب الجنائز)
“Abu Huraira ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap anak
itu dilahirakan atas fitrah (Potensi beragama islam). Selanjutnya orang
tuanyalah yang membelokkannya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi bagaikan
binatang melahirkan binatang, apakah kamu melihat kekurangan padanya?”[7] lalu Abu Huraira ra berkata, “Fitrah Allah di
mana manusia telah diciptakan tidak ada
perubahan pada fitrah Allah itu. Itulah agama yang lurus.”(HR. Bukhari)
Hadis
tersebut menjelaskan tentang pentingnya peran keluarga atau orang tua dalam
perkembangan anak. Kata Yuhawwidaanihi dalam hadis di atas berarti kedua
orang tua mengajar dan menggiringnya menjadi orang yahudi. Kata Yunassiranihi
berarti bahwa kedua orang tua pula yang mengajar dan menggiring anak
menjadi nasrani. Peluang besar yang mempengaruhi anak harus dimanfaatkan orang
tua dengan maksimal. Mereka harus menciptakan kondisi yang kondusif agar
potensi yang dimiliki anak dapat berkembang dengan optimal. Apabila orang tua
tidak mendidik anaknya atau melaksanakan pendidikan anak tidak dengan
sungguh-sungguh, maka akibatnya anak tidak akan berkembang sesuai dengan
harapan.[8]
Orangtua memiliki peran penting dalam pembentukan pribadi
anak. Oleh karena itu, orangtua berkewajiban untuk memberikan pengarahan atau
selalu berperan aktif dalam kehidupan anaknya. Ada beberapa kewajiban yang
harus diberikan orang tua terhadap anaknya, diantaranya adalah:
a.
Bersyukur kepada Allah atas anugerah dan amanah yang
diberikan berupa anak.
Di
dalam al-Qur’an dicontohkan bahwa Lukman merupakan
orangtua yang perlu diteladani dalam mendidik anak dan keluarganya.
Ia mengingatkan keluarganya untuk selalu bersyukur. Allah
berfirman dalam QS.
Lukman ayat 12-13
وَلَقَدْ
آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (١٢)
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيم(١٣)
12. Dan sungguh, telah
Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah. Dan
barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya
sendiri, dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha
kaya lagi Maha Terpuji
13. Dan
ingatlah ketika luqman berkata kepada anaknya, ketika memberi pelajaran
kepadanya, “wahai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnuya
mnyekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”
b.
Beraqiqah
Setelah hari pertama bayi diperdengarkan kalimat tauhid,
setelah hari ketujuh anak diberikan nama yang baik sekaligus di aqiqahi sebagai
bukti kasih sayang orangtua dan sebagai penebus gadaian yang berbentuk ibadah.[9]
Karena
anak pada hakikatnya tergadai dan tebusan
satu-satunya adalah dengan aqiqah. Hal ini seperti yang tertera dalam hadis:
عَنْ
سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغُلامُ
مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّـابِعِ وَيُسَمَّى
وَيُحْـلَقُ رَأْسُـه ( أخرجه الترمذي في كتاب الاضاحي)
Dari Samurah ra ia berkata bahwa Rasullulah SAW bersabda: “setiap anak
kecil (belum baligh) tergadai (dan) ditebus dengan mengaqiqahkannya, disembelih
kurban pada hari ketujuh kelahirannya, diberi nama, dan di cukur rambutnya”
(HR. at-Tirmizi)
c.
Menyusuinya selama dua tahun
Secara fitrah bayi yang baru lahir membutuhkan makanan dan
minuman yang paling tepat yaitu ASI. Adapun masa waktu menyusui yang dianjurkan
dalam islam adalah dua tahun. Hal ini sesuai
dengan
firman Allah dalam Qs.Al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah member Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
d.
Mengkhitannya
Menghitan adalah membersihkan alat kelamin, yakni dengan
membuang kulit yang menutup kepala kemaluannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
الْفِطْرَةُ
خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ
الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Perkara fithrah itu ada lima–atau lima hal berikut ini termasuk dari perkara
fithrah- yaitu khitan, istihdad (menghilangkan rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan),
mencabut bulu ketiak, menggunting kuku, dan memotong kumis. (HR.
Bukhari no. 5889 , 5891, 6297 dan Muslim no. 597)[10]
e.
Menikahkan
Setelah
anak memiliki cukup umur, sudah ada jodohnya serta sudah siap lahir dan batin dan
sanggup berkeluarga, maka orangtua dianjurkan untuk
menikahkan anaknya.[11]
Hal ini sesuai dengan Hadist riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya ia berkata :
قَالَ
لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ,
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ;
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda,
barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta),
hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Dan barang siapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .”[12]
Rasulullah
shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para
pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia
menikah), kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah
ushul fiqh disebutkan bahwa : “al ashlu fi al amr lil wujub
“ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
D. Pendidikan wajib dari orang tua terhadap anak
Terdapat
beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis yang merintahkan para orang tua untuk menyuruh
atau mengajarkan anak-anaknya melaksanakan shalat.[13] Hal ini terdapat dalam
Qs. Al-Lukman ayat 17 yang berbunyi:
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأمُر
بِالمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ المُنكَرِ وَاصبِر عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ
مِن عَزمِ الأُمُورِ(١٧)
17. Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya
yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Didalam Al-Qur’an Surat al-Luqman ayat 17 dijelaskan bahwa
Lukman (orang salih yang nama dan ajarannya diabadikan dalam Al-Qur’an ) menyuruh
anaknya untuk mendirikan shalat. Kemudian didalam hadis
pun dijelaskan bahwa anak yang sudah mampu
membedakan antara tangan kanan dan tangan kiri maka dilatih atau di ajarkan untuk
shalat.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلادَكُمْ
بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ
أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (أخرجه ابوداود في كتاب
الصلاة)
“Dari ‘Amar bin Syu’aib,
dari ayahnya dari kakeknya ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda:
“perintahlah anak-anakmu mengerjakan salat ketika berusia tujuh tahun, dan
pukullah mereka karena meninggalkan salat bila berumur sepuluh tahun, dan
pisahlah tempat tidur mereka (laki-laki dan perempuan)!”. (HR.Abu Daud dalam
kitab sholat)”.
Pada usia
tujuh tahun anak diperintahkan untuk shalat agar mereka terbiasa dan merasa
nyaman melakukan shalat. Setelah sampai usia sepuluh tahun orang tua boleh
memukul ketika anak meninggalkan shalat karena mereka sudah baligh atau
mendekati baligh. Adapun diperbolehkannya memukul terhadap anak
usia sepuluh tahun karena pada usia tersebut merupakan batas usia
seorang anak sudah bisa atau tahan menerima pukulan. Pukulan yang dimaksud adalah
pukulan yang tidak menyakitkan dan menghindari wajah.
Syarat diperbolehkannya memukul anak kecil:
a.
Hendaklah
pukulan itu tidak terfokus pada satu anggota badan
b.
Hendaknya ada
jeda waktu di antara dua pukulan, sehingga dapat meringankan rasa sakit yang
ditimbulkan
c.
Hendaknya orang
yang memukul tidak meninggikan tangannya sehingga pukulannya tidak terlalu
menyakiti
d.
Hendaklah para
pendidik tidak memukul ketika dirinya dalam keadaan marah
e.
Tidak memukul ketika
sang anak menyebut nama Allah
f.
Tidak memukul sebelum anak mencapai usia
sepuluh tahun. Syarat dalam memukul adalah bertujuan mendidik, bukan karena
marah, dendam, atau kebencian dan hendaklah hal itu merupakan bagian dari
sebuah pendidikan.[14]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak
merupakan titipan yang diberikan Allah kepada orang tua yang diamanahkan untuk menjaganya,
merawat dengan penuh kasih sayang
dengan sepenuh hati pula. Dengan demikian kita harus mensyukuri nikmat Allah
yang sangat besar ini dengan merawat dan menjaganya dengan baik.
Selain
itu, bentuk rasa kasih sayang
bisa dilakukan dengan mengaqiqahi anaknya. Karena anak pada hakikatnya tergadai
dan tebusan satu-satunya adalah dalam bentuk ibadah yaitu dengan aqiqah. Hal
ini seperti yang tertera dalam hadis yang berbunyi:
عَنْ
سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغُلامُ
مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّـابِعِ وَيُسَمَّى
وَيُحْـلَقُ رَأْسُـه( أخرجه الترمذي في كتاب الاضاحي)
Selain
itu, anak juga harus diberikan pelajaran-pelajaran wajib yang harus diketahui sesuai
dengan jenjang umurnya. Misalnya, ketika anak sudah berusia tujuh tahun maka orang
tua wajib melatih anaknya untuk shalat, dengan melatih dan mengajarkan anak untuk
melakukan shalat pada usia dini maka akan menjadi kebiasaan rutinitas yang baik
untuk anak.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami selesaikan, semoga dengan selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan, khususnya dalam hal mendidik
anak. Selain itu, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca terkhusus untuk
para pemakalah sendiri.
Kami sadar dalam pembuatan makalah ini masih jauh mendekati kesempurnaan,
untuk itu kritik saran yang membangun sangat kami tunggu untuk perbaikan dalam pembuatan
makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Jauhari Muchtar, Heri. 2008. Fikih Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Kazhim, Muhammad Kazhim.
2011. Sukses Mendidik Anak. Solo: Pustaka Arafah.
Mansur. 2009. Pendidikan
Anak Usia Dini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Uhbiyati, Nur. 2013. Dasar-Dasar
Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: Pustaka Riski Putra
Umar, Bukhari. 2012. Hadistarbawi Pendidikan Dalam Perspektif Hadis. Jakarta: Amzah.
Harsojo. 1972. Apakah Ilmu Itu dan Ilmu Gabungan Tentang Tingkah Laku Manusia,
Bandung.
http://asysyariah.com/sunnah-sunnah-fithrah-masalahkhitan/ diakses pada tanggal 25 September
2014, Pukul 15.47 WIB.
[1] Bukhari
Umar, HadisTarbawi: Pendidikan
dalam perspektif hadis, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 7
[2] Mansur, Pendidikan
Anak Usia Dini, (Yogyakarta: 2009, Pustaka Pelajar), hlm. 84
[3] Prof.
Drs. Harsojo, Apakah Ilmu Itu dan Ilmu Gabungan Tentang Tingkah Laku Manusia,
(Bandung: 1972), hlm.263
[4] Nur
Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: 2013, Pustaka
Riski Putra), hlm. 94
[5]http://ariastriyandi.blogspot.com/2012/11/aspek-aspek-pendidikan.htmldiaksespadatanggal
25 September 2014, Pukul 15.19
[6]Ahmad bin
al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqy, Sunan al-Baihaqy al-Kubra,
Makkah al-Mukarramah: Maktabah dar al-Baz, Juz 10, 1414, 1994, h. 15.
[7] Bukhari
Umar, Hadis Tarbawi, (Jakarta: 2012, AMZAH), hal. 168
[8] Bukhari
Umar, Hadis Tarbawi, (Jakarta: 2012, AMZAH), hal. 169
[9]Sayid Usman,
Fariyasan Bagus, hlm. 174
[10]http://asysyariah.com/sunnah-sunnah-fithrah-masalah-khitan/diaksespadatanggal
25 September 2014, Pukul 15.47
[11] Heri Jauhari
Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: REMAJA ROSDAKARYA, 2008), hlm 75-84
[12] HR.
Bukhari dan Muslim
[13] Heri Jauhari
Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung:
REMAJA ROSDAKARYA, 2008), hlm 91-92
[14] Muhammad
Nabil Kazhim, Sukses mendidik anak, (Solo: 2011, Pustaka Arafah), hal.
33
No comments:
Post a Comment